Asap Adalah Langitku

Asapku, Langitku.

Udara. Kabut asap. Kebakaran hutan. Kira—kira hal itulah yang sedang panas dan ramai dibicarakan saat ini. Memang sudah bukan hal asing lagi kebakaran dan kabut asap adalah salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia, dan kali ini bukan pertama kalinya.

Namun, sepertinya pada tahun 2015 ini merupakan salah satu yang paling parah, mengingat sudah sekitar 1.7 hektar adanya kemarau panjang dan hujan yang belum turun, dan oleh karena itulah masalah kebakaran hutan dan kabut asap baru disorot besar-besaran sekarang. Tercatat kira-kira sudah sekitar 500.000 orang terkena ISPA, dan jutaan orang lain di pulau Sumatera dan Kalimantan yang terpapar oleh kabut asap. Ini bukan hal yang bisa dianggap remeh, terutama apabila sudah menyangkut kesehatan jutaan orang Indonesia.

Kita yang tinggal di daerah yang udaranya tidak terpapar kabut asap saja, termasuk gue, tidak tahan terhadap asap rokok, asap fogging, asap kendaran yang menghitam, atau asap pembakaran sampah. Terbayang kan, bagaimana sesaknya dan menderitanya mereka yang harus melalui tiap harinya, tiap detiknya tanpa henti menghirup asap. Apalagi anak-anak, bayi dan balita, yang tentunya lebih lemah dan mudah terserang penyakit pernapasan. Mau mengenakan masker? Mengenakan masker bukanlah solusi yang tepat, mengenakan masker pun tetap saja asap akan tetap terhirup.

Kesehatan bukanlah satu-satunya dampak akibat kabut asap. Sekolah-sekolah banyak yang diliburkan karena asap, banyak kegiatan ekonomi masyarakat terganggu. Salah satunya adalah petani, asap menyebabkan tumbuhan sulit menghasilkan buah, dan memperlambat panen, bahkan sampai mematikan tumbuhan yang ada. Transportasi juga banyak yang terganggu akibat kabut asap. Sudah berapa banyak penerbangan yang ditunda dan dibatalkan akibat jarak pandang terbatas yang disebabkan oleh kabut asap, atau kecelakaan akibat jarak pandang yang sangat terbatas.

Selain itu, bukan hanya manusia saja yang merasakan dampaknya. Terbayang tidak, nasib banyak satwa-satwa yang tinggal di hutan ataupun penangkaran yang terpapar asap? Nasib satwa yang tinggal di hutan yang dibakar? Apalagi, satwa-satwa langka banyak yang berasal dari Kalimantan dan Sumatera, seperti contohnya orangutan.

Namun, hal yang memalukan sepertinya adalah kabut asap sudah menyebar hingga ke negara tentangga. Malaysia, Singapura, bahkan Filipina dan Thailand. Mereka tentunya menyalahkan Indonesia, karena Indonesia dianggap bertanggung jawab atas kabut asap yang terjadi di negara mereka. Tentunya, itu menunjukkan kabut asap dan kebakaran hutan adalah masalah yang perlu ditanggapi sangat serius.

Nah, kalau sudah begini, mau menyalahkan siapa? Mau menyalahkan pemerintah? Seperti banyaknya postingan di media social yang kebanyakan menyalahkan pemerintah akibat kelambatan dan kurang tegasnya tindakan dan hukuman untuk oknum-oknum pembakar hutan. Ada juga yang menyalahkan pemerintah akibat adanya pihak-pihak yang membakar hutan, terutama dari pihak asing. Atau yang menyalahkan pemerintah akibat tidak ada usaha berarti dari pemerintah untuk memadamkan kebakaran hutan, sehingga bencana kabut asap masih terjadi sampai sekarang. Yang dibutuhkan sekarang adalah aksi nyata yang konkret untuk membantu saudara-saudara kita disana, bukan hanya banyak omong di media social, tetapi diam tidak melakukan aksi.

Padahal, pemerintah juga sudah berusah kok, seperti dengan mengirimkan banyak pesawat –pesawat untuk membuat hujan buatan. Dengan mengirimkan banyak kapal untuk mengevakuasi warga. Juga dengan mengirimkan sejumlah air purifier buatan Institut Teknologi Bandung ke sejumlah tempat dan rumah singgah di Sumatera dan Kalimantan. Hanya saja, mungkin dengan kabut asap yang tidak kunjung hilang, pemerintah dianggap tidak berusaha dengan maksimal.

Menyalahkan pemerintah juga tidak ada gunanya, kawan. Bencana ini bukan sepenuhnya salah pemerintah. Banyak faktor-faktor yang terlibat, bukan hanya pemerintah. Marah-marah, banyak berkomentar dan membuat banyak postingan di media social juga tidak akan membuat kabut asap seketika saja berhenti. Lebih baik, kita ambil sisi positifnya saja dari bencana kabut asap ini. Dengan adanya bencana ini, tentunya menggerakkan rasa kemanusiaan kita untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana, dan membuat kita lebih bersyukur dan menghargai udara bersih yang kita hirup sekarang.

Ayasha Nadira Widyadhana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *