Di Balik Torehan Kertas Penuh Makna

Sosok yang tidak mungkin lagi asing bagi para masyarakat Indonesia. Pahlawan perempuan yang memiliki julukan sebagai Ibu Indonesia, Trinil, Kuda Kore, dan penulis yang sangat terkenal dengan karyanya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sosok inspiratif di balik tercapainya hak-hak para perempuan Indonesia dengan pendidikan, kesetaraan, dan kedudukan perempuan melalui surat-suratnya. Ya, betul sekali ia adalah salah satu pahlawan yang bermakna bagi saya, yaitu R.A. Kartini.

Bernama lengkap Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau kerap disapa Raden Ajeng Kartini, lahir di Jepara, pada 21 April 1879. Seorang pejuang kemerdekaan dan kedudukan kaum wanita khususnya di daerah Jawa pada masanya. Menjadi anak ke-5 dari 11 saudara kandung dan tiri, dari pasangan Raden Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah membuat Kartini menjadi bagian dari keluarga darah biru. Hidup Kartini berjalan sebagaimana ia seharusnya dengan menjadi keluarga bangsawan. Namun, sejak kecil, Kartini dikenal sebagai anak yang aktif bergerak dan itu ia utarakan dalam suratnya kepada Estelle Zee-handelaar tanggal 18 Agustus 1899: “Saya disebut kuda kore atau kuda liar. Karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi saya dimaki-maki juga sebab saya sering sekali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan”. Bahkan, ayah dan kakaknya pun memberikan gelar Trinil yang sering disebut “Nil”. Panggilan tersebut memiliki arti burung kicau yang kecil dan lincah.

Dengan berbagai julukannya tersebut, Kartini tumbuh menjadi anak yang aktif tetapi juga sangat pandai. Pada saat ia berada di Sekolah Dasar, yaitu di Europeesche Lagere School ia menunjukkan kemampuannya bersosialisasi dengan berbagai kalangan, kemampuan berbahasa Belanda, bahkan memahami peran dan perjuangan salah satu wanita dari India, Pundita Rumambai. Pengetahuan Kartini terus bertambah sejak itu. Saat berusia 13 sampai 15 tahun, Kartini berusaha untuk meneruskan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool Semarang, namun ditolak sang ayah karena Kartini sudah seharusnya dipingit. Kartini tidak memiliki pilihan apapun selain menerima perintah sang ayah untuk dipingit. Selama 4 tahun masa pingitan, hari-hari dijalani Kartini dengan membaca buku. Tetapi, rasa cemas serta gelisah di hati Kartini membuatnya mencari berbagai cara supaya bisa terus belajar walaupun tidak dengan bersekolah. Akhirnya, Kartini menemukan jalan, yaitu dengan menghubungi sahabatnya selama bersekolah di ELS bernama Rosa Abendanon. Setiap harinya mereka akan bertukar pikiran melalui tulisan-tulisan yang akan dikirimkan lewat surat. Kegiatan mereka bertukar surat membuat Kartini mendapat pikiran, pengetahuan, serta pandangan yang baru. Terlebih lagi, sahabatnya ini adalah orang Belanda yang notabene memiliki pandangan berbeda dengan orang Indonesia, karena budaya mereka adalah Budaya Eropa. Jadi, secara tidak langsung, berkat kegiatan surat-menyurat, Kartini bisa belajar tentang kehidupan serta pola pikir orang Eropa, lebih tepatnya perempuan-perempuan Eropa.

Masih seputar masa pingitan Kartini. Masa pingitan Kartini bisa dibilang adalah masa-masa Kartini belajar mengenai kehidupan perempuan Eropa. Sampai, ia sadar bahwa kehidupan perempuan Eropa di masa itu sangat jauh berbeda dengan kehidupan perempuan Indonesia. Di Indonesia, perempuan memiliki status yang rendah, tak pernah mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan hukum. Sedangkan, perempuan di Eropa mendapatkan semua hal itu. Kartini yang menyadari hal tersebut tergerak hatinya untuk membangkitkan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh perempuan-perempuan di Indonesia. Semua usahanya terekam jelas melalui surat-surat yang ia tulis. Ia menulis semua hal yang ingin ia ubah, pemikiran-pemikirannya tentang hak-hak perempuan, keadilan yang seharusnya didapatkan, serta tentang kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki. Sekarang, tulisan penuh makna Kartini sudah dibukukan oleh oleh J.H. Abendanon dengan judul “Door Duisternis Tot Licht”, atau yang kita kenal dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. 

Waktu terus berjalan, begitu juga masa pingitan Kartini. Walaupun dipingit, Kartini tidak hanya melakukan kegiatannya seperti yang kita tahu, yaitu surat-menyurat. Tetapi, Kartini juga membaca buku-buku dan untungnya saja ayahnya dan kakaknya, R.M. Sosrokartono, menjadi orang yang bersedia memenuhi kebutuhan Kartini akan bahan bacaan. Selama masa pingitan, Kartini dekat dengan 2 adiknya, yaitu Roekmini dan Kardinah, karena kedua adiknya tersebut juga baru saja memasuki masa pingitan, sebab sang kakak tertua mereka, R.A Soelastri, akhirnya menikah. Sejak saat itu, beberapa tradisi yang ada di keluarga bangsawan diubah dan dimanfaatkan oleh Kartini, seperti adik-adiknya yang tidak lagi harus menyembah dirinya dan tidak wajib berbicara dengan bahasa Jawa krama inggil. Meski demikian, Kartini tetap memberikan hormat kepada orang yang lebih tua sebagaimana lazimnya adat dalam keluarga bangsawan.

Pengaruh Kartini tertanam kuat pada Roekmini dan Kardinah. Mereka bertekad untuk mendukung gagasan kakaknya. Tiga saudara sepakat bahwa kemajuan suatu masyarakat tidak akan tercapai tanpa memajukan terlebih dahulu kaum perempuan. Akhirnya, Kartini, Roekmini dan Kardinah memanfaatkan kelonggaran yang diberikan untuk mengembangkan potensi diri. Di samping kegigihan mereka, ada sosok Sosroningrat yang mengamati dengan baik kondisi mereka, sehingga memutuskan membebaskan anak-anak perempuannya dari tradisi pingitan. Pada 2 Mei 1898 kurungan tiga saudara dibuka. Kehidupan mereka mulai berubah sejak mereka dibebaskan dari pingitan. Mereka mulai memaksimalkan tujuan mereka untuk memajukan dan memberikan hak-hak para perempuan dengan mulai turun ke desa-desa melakukan dialog dengan masyarakat tentang masalah yang dihadapi. Salah satu hasil kunjungan mereka adalah kepada para pengrajin ukir di Kampung Belakanggunung yang dihargai tidak setimpal dengan jerih payah mereka.

Melihat kegigihan Kartini, kita perlu tahu juga bahwa sebenarnya, Kartini memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Berbagai cara Kartini lakukan untuk mendapatkan beasiswa pendidikan lebih lanjut, namun berkali-kali juga ditolak oleh sang ayah. Sampai suatu hari beasiswanya diterima dan sang ayah mendukung cita-cita Kartini menjadi guru. Tetapi, cobaan kembali datang, di mana permohonan belajar Kartini tidak kunjung disetujui pemerintah. Akhirnya, Kartini yang saat itu bersama Roekmini memutuskan untuk membuka sekolah bagi anak-anak perempuan di pendopo kabupaten pada Juni 1903. Sekolah itu menekankan pada pembinaan budi pekerti dan karakter anak. Sekolah tersebut juga lepas dari pengaruh pemerintah. Kartini mengatur sekolah sesuai dengan gagasan yang ada dalam dirinya. Kebanyakan muridnya adalah anak priyayi di Jepara. 

Kartini selalu maksimal dalam mengurus sekolahnya, sampai suatu hari ada hal yang datang, yaitu surat lamaran untuk Kartini dari Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat. Memang benar, Kartini bukan menjadi istri pertama, tetapi bupati itu sangat mengerti keinginan dan menghargai cita-cita Kartini. Ia bahkan mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Mereka akhirnya menikah dan dikaruniai seorang putra laki-laki. Tetapi 4 hari setelah melahirkan, Kartini tak mampu bertahan dan wafat di usia 25 tahun.

Seperti itulah kurang lebih dari kisah R.A. Kartini yang selama ini selalu membekas di ingatan saya. Segala perjuangan, rintangan, dan kegigihan yang dimilikinya membuat saya selalu kagum dengan Kartini. Berkatnya, sekarang para perempuan Indonesia mendapatkan hak-hak yang sudah seharusnya mereka miliki, mulai dari pendidikan, kesetaraan, dan sudut pandang terhadap perempuan. Berkat Kartini juga, perempuan tidak dianggap lemah dan tidak setara dengan laki-laki. Perlu diingat bahwa perempuan juga memiliki kesempatan serta kemampuan yang setara dengan laki-laki dan perempuan itu tidak lemah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *